Kamis, 09 Februari 2017

LAPORAN PRAKTIKUM KANDANG NUTRISI DAN BAHAN PAKAN TERNAK

LAPORAN PRAKTIKUM KANDANG
NUTRISI DAN BAHAN PAKAN TERNAK






Oleh :
Nama              :  Vina Eka Prasetia N.A.A
Kelas               :  B
Stambuk         :  L1A1 14 059
Kelompok       :  I (Satu)
Asisten            :  Firman Nasiu S,pt. M,Sc




Jurusan peternakan
Fakultas peternakan
Universitas Halu Oleo
Kendari
2016
I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Indonesia mempunyai kekayaan dan potensi sumber daya genetik ternak sapi potong nasional, yangtelah dimanfaatkan sebagai sumber pangan daging,tenaga kerja, energi dan pupuk. Mempertahankan sumber daya ternak lokal pentingartinya untuk mencapai keamanan panganberkelanjutan bagi jutaan umat manusia.
Ternak potong merupakan salah satu penghasil daging yang memiliki nilai gizi serta nilai ekonomi yang tinggi. Sejalan dengan meningkatnya jumlah penduduk, kebutuhan akan konsumsi daging di Indonesia terus meningkat setiap tahunnya. Peluang usaha beternak sapi potong sangat menjanjikan karena dengan melihat meningkatnnya permintaan bahan makanan yang berasal dari hewan sebagai sumber protein hewani khususnya daging. Pertumbuhan ternak potong meliputi pertumbuhan pre natal dan post natal. Pertumbuhan pre natal adalah pertumbuhan yang terjadi atau berlangsung di dalam kandungan induk dan pertumbuhan post natal adalah pertumbuhan yang terjadi atau berlangsung mulai ternak dilahirkan sampai mati.
Sapi Bali merupakan sapi potong asli Indonesia dan merupakan hasil domestikasi dari Banteng (Bos-bibos banteng), sapi cukup potensial untuk dikembangkan karena memiliki kemampuan adaptasi yang cukup baik serta  memiliki produktivitas tinggi.
Sapi Bali merupakan salah satu pemasok kebutuhan daging nasional. Hal ini terlihat dari tingginya kuota yang diberikan kepada daerah Bali untuk memenuhi pasar daging di jakarta maupun di daerah lain di Jawa. Sapi Bali merupakan ternak primadona di Bali, dan banyak dipelihara oleh masyarakat Bali. Di samping karena kualitas dagingnya yang baik, sapi Bali juga memiliki persentase karkas yang tinggi 56-58%, bila dibandingkan dengan ternak yang lainnya Saat ini populasi sapi Bali mencapai 633.789 ekor dan setiap tahun meningkat rata rata 4,11%.
Usaha ternak sapi potong dapat dikatakan berhasil bila telah memberikan kontribusi pendapatan dan dapat memenuhi kebutuhan hidup peternak sehari-hari, Agar usaha ternak sapi potong menghasilkan sapi berkualitas, peternak harus meningkatkan keterampilan dan pengetahuan mereka dalam beternak sapi potong, antara lain memilih bibit/bakalan yang baik, sistem pemeliharaan, pemberian pakan yang baik, dan pengawasan terhadap kesehatan ternak.
Berdasarkan hal tersebut di atas, maka dilakukanlah praktikum ini untuk dapat mengetahui konsumsi pakan, penambahan bobot badan harian dan konsumsi bahan kering.
1.2. Tujuan
              Tujuan dilakukannya paraktikum ini adalah:
1.     Untuk mengetahui sistem pemeliharaan ternak sapi bali.
2.    Untuk mengetahui  penambahan bobot badan harian pada ternak sapi bali.
3.    Untuk mengetahui  konsumsi bahan kering pada ternak sapi bali.
1.3. Manfaat
Manfaat yang dapat diambil dari praktikum ini yaitu :
1.    Dapat  mengetahui sistem pemeliharaan ternak sapi bali.
2.    Dapat mengetahui  penambahan bobot badan harian pada ternak sapi bali.
3.    Dapat mengetahui  konsumsi bahan kering pada ternak sapi bali.

 
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Sapi Bali
Sapi Bali merupakan sapi potong asli Indonesia dan merupakan hasil domestikasi dari Banteng (Bos-bibosbanteng) dan merupakan sapi asli Pulau Bali. Sapi Bali menjadi primadona sapi potong di Indonesia karena mempunyai kemampuan reproduksi tinggi, serta dapat digunakan sebagai ternak kerja di sawah dan lading. Potensi produktivitas ternak dasarnya dipengaruhi faktor genetik, lingkungan serta interaksi antara genetik dan lingkungan (Karnaen dan arifin, 2009).
Ciri  –ciri  sapi  Bali   yaitu  berukuran  sedang,  dadanya  dalam,  tidak berpunuk,  kulitnya  berwarna  merah  bata,  cermin  hidung,  kuku  dan  bulu  ujung ekornya  berwarna  hitam,  kaki-kakinya  ramping  pada  bagian  bawah  persendian karpal  dan  tarsal  berwarna  putih.  Kulit  berwarna  putih  juga  ditemukan  pada bagian  pantatnya  dan  pada  paha  bagian  dalam  kulit  berwarna  putih  tersebut berbentuk  oval  (white  mirror).  Pada  punggungnya  selalu  ditemukan  bulu  hitam membentuk garis (garis belut) memanjang dari gumba hingga pangkal ekor.  Sapi Bali  jantan  berwarna  lebih  gelap  bila  dibandingkan  dengan  sapi  Bali  betina. Warna bulu sapi Bali jantan biasanya berubah dari merah bata menjadi coklat tua atau  hitam  legam  setelah  sapi  itu  mencapai  dewasa  kelamin  (Anonima,  2012  ). Sapi Bali jantan bertanduk dan berbulu warna  hitam kecuali kaki dan pantat. Berat sapi  Bali  dewasa  berkisar  350  hingga  450  kg,  dan  tinggi  badannya  130  sampai 140  cm.  Sapi  Bali  betina  juga  bertanduk  dan  berbulu  warna  merah  bata  kecuali bagian  kaki  dan  pantat.  Dibandingkan  dengan  sapi  Bali  jantan,  sapi  Bali  betina relatif lebih kecil dan berat badannya sekitar 250 hingga 350 kg  (Darmaja, 1980).
Sapi Bali adalah salah satu aset nasional yang cukup potensial untuk dikembangkan. Penyebaran sapi Bali telah meluas hampir ke seluruh wilayah Indonesia, hal ini terjadi karena breed ini lebih diminati oleh para petani peternak disebabkan beberapa keunggulan yang dimilikinya, antara lain tingkat kesuburan yang tinggi, sebagai sapi pekerja yang baik dan efisien serta dapat memanfaatkan hijauan yang kurang bergizi dimana bangsa lain tidak dapat, persentase karkas tinggi, daya adaptasi yang tinggi terhadap lingkungan dan persentase beranak dapat mencapai 80% (Ngadiyono, 2010).
Seleksi sapi bali dapat menyebabkan perubahan keragaman genetik, tergantung pada cara seleksi yang digunakan. Seleksi secara langsung mengakibatkanragam genetik berkurang sampai tercapainya keadaan konstan pada suatu generasi tertentu. Dalam seleksi terarah suatu sifat yang dikehendaki maka mutu genetik dapat ditingkatkan. Dalam memilih suatusifat untuk dijadikan dasar seleksi perlu dipertimbangkan beberapa hal, yaitu tjuan program seleksi, ilai heritabilitas suatu sifat, nilai ekonomi dari adanya peningkatan sifat, korelasi antar sifat serta baya dan waktu dari program seleksi. Beberapa sifat yang empunyai nilai ekonomi tinggi meliputi fertilisasi, daya hidup, bobot lahir, bobot sapi, tipe dan konformasi tbuh, obot dan kualitas bulu (Rusfidra, 2006).
2.2. Rumput Gajah (Penneisetum purpureum)
Rumput gajah merupakan rumput uggul yang berasal dari Afrika tropik, termasuk jenis rumput potong yang berumur panjang (parennial), tumbuh tegak membentuk rumput, tinggi dapat mencapai 7 meter bila dibiarkan bebas dan kedalaman akar mencapai 4,5 meter (Reksohadiprodjo, 1985). Rumput ini dapat tumbuh pada ketinggian 0-3000 meter diatas permukaan laut (dpl), dengan curah hujan 1000 mm/tahun, tidak tahan genangan dan membutuhkan tanah subur. Rumput gajah disukai ternak, tahan terhadap kekeringan, produksi dan nilai gizinya tinggi serta baik untuk silase (Soegiri et al, 1980).
Rumput Gajah merupakan jenis rumput yang sering dibudidayakan sebagai pakan untuk ternak. Berat yang dimiliki oleh rumput gajah lebih rendah daripada rumput raja. Intensitas pemotongan yang umum dilakukan untuk rumput gajah yaitu ruas ketiga dari pangkal batang. Interval pemotongan pada umumnya 40 hari sekali pada musim hujan dan 60 hari sekali pada musim kemarau (Rukmana, 2005).
Pertumbuhan tanaman rumput. Cara pengembangbiakan utama tanaman rumput adalah dengan vegetatif, transisi, dan reproduktif. Fase vegetatif, batang sebagian besar terdiri atas helaian daun. Leher helaian daun tetap terletak di dasar batang, tidak terjadi pemanjangan selubung daun atau perkembangan kulmus, sebagai respon terhadap temperatur dan panjang hari kritis, meristem apikal secara gradual berubah dari tunas vegetatif menjadi tunas bunga. Hal ini disebut induksi pembungaan. Fase perubahan ini disebut dengan fase transisi. Selama fase transisi helaian daun mulai memanjang. Internodus kulmus juga mulai memanjang. Fase reproduktif (pembuangan) dimulai dengan perubahan ujung batang dari kondisi vegetatif ke tunas bunga (Soetrisno et al., 2008).

2.3. Rumput Mulato
Rumput mulato merupakan  persilangan antara rumput Brachiaria ruziziensis clone 44-06 dengan Brachiaria brizantha cv. Marandu  (Rosseau dkk., 1998). Total produksi bahan kering hijauan dari 3 kali panen adalah 12,04 t/ha. Selain itu petani juga suka karena untuk potong-angkut tidak membuat tangan dan badan gatal -gatal. Hal yang perlu diperhatikan untuk tumbuh  dan  berkembangnya  lebih  baik  rumput  Mulato  ini  adalah  masalah drainase. Pada lahan yang drainasenya buruk, rumput Mulato tidak dapat tumbuh dengan  baik  karena  drainase  yang  buruk  mengakibatkan  buruknya  pula  kondisi aerasi  tanah.  Hal  lain  adalah  pada  daerah  yang  bercurah  hujan  tinggi  sangat dimungkinkan  rumput  Mulato  terserang  oleh  Rhizoctonia  yaitu  cendawan  yang menyerang akar (Bahar, 2008).
Khusus  tentang  rumput  Brachiaria  terdapat  beberapa  spesies  rumput Brachiaria  yang  memiliki  nilai  ekonomi  yang  penting  bagi  produksi  ternak  di daerah  tropik.   Namun  demikian  semua  spesies  rumput  Brachiaria  tersebut memiliki  keterbatasan.   Contohnya  Brachiaria  decumbens  cv.  Basilisk  dapat tumbuh  baik  di  musim  kemarau  tetapi  kualitas  hijauannya  rendah  dan menghasilkan benih yang sedikit di banyak areal di Asia Tenggara.  Brachiaria ruziziensis  (Ruzi  grass)  banyak  digunakan  di  Asia  Tenggara  tetapi  kurang beradaptasi  pada  musim  kemarau  panjang  dan  segera  mati  di  daerah -daerah tersebut (Hare dan Horne, 2004).
Rumput Mulato ini sangat disukai ternak sapi, salah satu penyebabnya adalah batang dan daunnya yang lembut dan agak berbulu . Selain itu petani juga suka karena untuk potong-angkut tidak membuat tangan dan badan gatal-gatal . Hal yang perlu diperhatikan untuk tumbuh dan berkembangnya lebih baik rumput Mulato ini adalah masalah drainase . Pada lahan yang drainasenya buruk, rumput Mulato tidak dapat tumbuh dengan baik karena drainase yang buruk mengakibatkan buruknya pula kondisi aerasi tanah . Hal lain adalah pada daerah yang bercurah hujan tinggi sangat dimungkinkan rumput Mulato terserang oleh Rhizoctonia yaitu cendawan yang menyerang akar (Aciar, 2008).
2.4. PBB (Penambahan Bobot Badan)
Penambahan bobot badan merupakan fase bertambahnya berat badan yang terjadi pada ternak dengan tujuan meningkatkan produksi dagingnya dengan cara memberikan pakan yang bermutu tinggi dan berkualitas baik. Penambahan bobot badan pada ternak dipengaruhi oleh tingkat konsumsi pada ternak dan juga tingkat nutrisi yang terkandung dalam pakan ternak yang diberikan, semakin tinggi tingkat konsumsi dan nilai nutrisi pada pakan maka semakin cepat laju pertumbuhan pada ternak sehingga mempepengaruhi bobot badan ternak (Nurman, 2014).
Persen laju pertumbuhan selalu menurun sepanjang hidup ternak, laju pertumbuhan tertinggi dicapai saat terjadinya pembuahan, meskipun laju pertumbuhannya sama, ternak yang lebih kecil tumbuh tiga kali lebih cepat bila perbandingan dibuat dalam persen laju pertumbuhan. Sebagai gambaran untuk memperjelas pernyataan tersebut disajikan data pertumbuhan sapi bobot 100 kg dan 300 kg dengan pertambahan bobot badan harian (PBBH) yang sama (1,0 kg).Pertumbuhan adalah pertambahan dalam bentuk dan berat jaringanjaringan pembangun seperti urat daging, tulang, otak, jantung dan semua jaringan tubuh (kecuali jaringan lemak), serta alat-alat tubuh lainnya. Lebih lanjut dikatakan pertumbuhan murni adalah penambahan dalam jumlah protein dan zatzat mineral, sedangkan pertambahan akibat penimbunan lemak atau air bukanlah pertumbuhan murni (Anggorodi, 1984).
2.5. Konsumsi Pakan
Konsumsi  pakan  adalah  kemampuan  ternak  untuk  menghabiskan  pakan yang tersedia secara  ad-libitum. Adapun rata-rata konsumsi pakan sapi Bali dengan  rata-rata  konsumsi  pakan  sapi  Bali  betina  yang berumur  2  tahun  memiliki  rata-rata  konsumsi  pakan  11,1%  dan  mencapai persentase dari berat badan awal yakni 8,1% serta sapi Bali betina yang berumur 1 tahun  memiliki rata-rata konsumsi pakan 7,6% dan persentase rumput dari  berat badan  awal  mencapai  8,0%  lebih  tinggi  dibandingkan  dengan  umur  dan  jenis kelamin  sapi  Bali  jantan  sehingga  dapat  diasumsikan  bahwa,  sapi  Bali  betina memiliki  tingkat  konsumsi  dan  palatabilitas  pakan  sangat  baik.  Selain  itu kebutuhan sapi Bali betina lebih tinggi dapat pula disebabkan karena selain untuk memenuhi  kebutuhan  hidupnya,  betina  juga  mempersiapkan  kebutuhan  nutrisi untuk  produktivitasnya.  Hal  ini  diperkuat  oleh  parakkasi,  (1999)  bahwa  tingkat pemberian  makanan  yang  cukup  bagi  calon  induk  muda  untuk  memenuhi kebutuhan  pertumbuhan  dan  kebuntingannya  sehingga  kebutuhan  nutrisi  dapat terpenuhi dan tidak bersaing dengan kebutuhan pertumbuhan induk muda (Yudith, 2010).
III. METODOLOGI PRAKTIKUM
3.1. Waktu dan Tempat
Praktikum ini dilaksanakan selama 14 hari pada bulan April 2016 dan bertempat di Kandang Ternak Ruminansia Jurusan Peternakan Fakultas Peternakan Universitas Halu Oleo.
3.2. Materi Praktikum
Alat yang  diggunakan dalam praktikum ini dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Alat beserta kegunaan yang digunakan dalam praktikum
No
Nama alat
Kegunaan
1
2
3
4
5
Alat tulis
Timbangan
Parang
Amplop
Untuk menuliskan hasil pengamatan
Untuk  menimbang bobot sapi dan berat rumput
Untuk mengambil dan memotong rumput
Untuk menyimpan sampel awal dan akhir
Ember
Digunakan sebagai alat untuk mengangkat air

Bahan yang digunakan dalam praktikum ini dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2.Bahan  Beserta Kegunaan Yang Digunakan Dalam Praktikum
No
Bahan pengamatan
Kegunaan
1
Sapi Bali
Sebagai bahan yang diamati
2
Rumput Gajah
Sebagai bahan yang diamati
3
Rumput Mulato
Sebagai bahan yang diamati

3.3. Prosedur Kerja
Adapun langkah-langkah atau metode yang dilakukan dalam praktikum kandang adalah sebagai berikut :
1.      Pengambilan rumput yang di lakukan pada sore hari,
2.      Proses pemotongan rumput,
3.      Keesokan harinya pembersian kandang sapi, penimbangan sapi bali, pemberian pakan 10% dari bobot badan ternak sapi, pemberian pakan (rumput) yang telah ditimbang dan pengambilan air untuk minum ternak sekaligus pengambilan sampel awal sebesar 500 gr untuk dibawah ke lab nutrisi untuk di oven lalu ditimbang bahan keringnya,
4.      Siang harinya dilakukan penimbangan pada sisa pakan ternak dan pemberian pakan (rumput)  baru yang telah ditimbang pada ternak sapi bali
5.      Sore harinya dilakukan penimbangan pada sisa pakan ternak dan pemberian pakan (rumput) baru yang telah ditimbang pada ternak sapi bali
6.      Keesokan harinya lagi atau pagi hari penimbangan sisa pakan sekaligus pengambilan sampel akhir sebesar 500 gr untuk dibawah ke lab nutrisi untuk di oven lalu ditimbang bahan keringnya.
7.      Menuliskan hasil pengamatan










IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. Hasil Pengamatan
No
Pakan
BB (kg)
PBBH (kg)
Pakan (Kg)

Bahan Kering Pakan


Awal
Akhir

Pemberian
Sisa
Pemberian (%)
Sisa (%)
Konsumsi
(kg)
1.
Rumput gajah
259
264
0,357
25,5
5,04
20
20
4,092
2.
Rumput mulato
234
238
0,286
23,5
8,81
32
32
4,7008












4.2. Pembahasan
 4.2.1. Pemeliharaan Ternak
Berdasarkan pada praktikum yang telah dilakukan selama 14 hari kami melakukan pemeliharaan pada ternak sapi bali dengan cara intensif, pemeliharaan secara intensif  dibagi menjadi dua yaitu ternak sapi dikandangkan secara terus menerus dan ternak sapi dikandangkan pada saat malam hari kemudian siang hari digembalakan. Tetapi sistem pemeliharaan yang kami lakukan adalah pemeliharaan ternak sapi dikandangkan secara terus menerus, pakan yang kami berikan dengan cara menyediakan pakan didalam kandang yang telah kami ambil di padang rumput lalu memotongnya agar ternak sapi mudah untuk mengkonsumsinya pakan yang kami berikan telah ditentukan yaitu rumput gajah dan rumput mulato. Sementara untuk menjaga kebersihan kandang ternak sapi kami  melakukan pembersihan kandang setiap pagi dan pemberian air minum dilakukan ketika air minumnya mulai berkurang. Pemeliharaan  ternak  secara  intensif adalah  sistem  pemeliharaan  ternak  sapi  dengan  cara  dikandangkan  secara  terus menerus   dengan  sistem  pemberian  pakan  secara  cut  and  curry.   Sistem  ini kami lakukan  karena kami ingin mengetahui tingkat palatabilitas pada ternak sapi dan juga mengetahui penambahan bobot badan harian pada ternak sapi. Hal ini sesuai dengan hasil pengamatan yang dilakukan (Santosa, 2005) bahwa pemelihraan yang dilakukan pada ternak sapi bali secara intensif, pakan yang kami berikan dengan cara menyediakan pakan didalam kandang yang telah di ambil di padang rumput lalu memotongnya agar ternak sapi mudah untuk mengkonsumsinya.
4.2.2. PBB (Penambahan Bobot Badan)
Berdasarkan hasil pengamatan dalam praktikum yang telah kami lakukan pada ternak sapi bali pada perlakuan pertama dengan memberikan pakan rumput gajah memiliki bobot badan awal pada saat ditimbang pada pagi hari yaitu 259 kg, penambahan bobot badan pada ternak sapi bali pada saat ditimbang 14 hari kemudian memiliki bobot badan 264 kg dan penambahan bobot badan hariannya yaitu 0,357 kg.  Pada perlakuan kedua dengan memberikan pakan rumput mulato memiliki bobot badan awal pada saat ditimbang 234 kg dan penambahan bobot badan pada ternak sapi bali pada saat ditimbang 14 hari kemudian memiliki bobot badan 238 kg dan penambahan bobot badan hariannya yaitu 0,284 kg, hal ini menunjukkan bahwa adanya penambahan bobot badan yang terjadi pada ternak sapi bali tetapi penambahan bobot badan yang terjadi sangat kurang. Hasil pengamatan dalam praktikum yang telah kami lakukan berbeda dengan hasil pengamatan yang dilakukan oleh Haryadi (1996), yang mengemukakan bahwa pemberian pakan rumput gajah untuk ternak sapi bali dengan berat awal 263 kg penambahan bobot badannya yaitu 312 kg, hal yang membuat tingginya penambahan atau peningkatan bobot badan pada ternak sapi bali karena pemberian pakan rumput gajah sudah diberikan sejak awal dengan pemberian pakan dilakukan dengan pergantian jenis-jenis pakan, sehingga ternak tidak kaget dengan perubahan pakan. Sedangkan pemberian pakan rumput mulato untuk ternak sapi bali dengan berat awal 246 kg penambahan bobot badannya yaitu 268 kg hal yang membuat tingginya penambahan bobot badan pada ternak sapi bali karena pemberian pakan rumput mulato sudah diberikan sejak awal dengan pemberian pakan dilakukan dengan pergantian jenis-jenis pakan, sehingga ternak tidak kaget dengan adanya perubahan pakan. Hal ini berbeda dengan hasil pengamatan yang telah kami lakukan, hal yang membuat kurangnya penambahan bobot badan pada ternak yang kami amati karena terjadinya perubahan pemberian pakan, pada rumput mulato adanya bulu-bulu halus sehingga membuat rendahnya palatabilitas pada ternak sapi bali, dan pada saat pemberian pakan berlangsung adanya suara-suara bising dari suara praktikan yang membuat ternak stres  sehingga nafsu makan pada ternak berkurang atau menurun dan juga pada sistem pemeliharaan yang berubah sehingga membuat ternak tidak terbiasa.
4.2.3. Konsumsi Bahan Kering
Berdasarkan hasil pengamatan dalam praktikum yang telah kami lakukan konsumsi bahan kering terhadap ternak sapi bali pada pemberian pakan rumput gajah dalam pemberian bahan kering pakan sebesar  20% dan sisa dari bahan kering pakan sebesar 20%, sedangkan tingkat konsumsi bahan kering pakan pada ternak sapi bali sebesar 4,092 kg. Pada pemberian pakan rumput mulato dalam pemberian bahan kering pakan sebesar 32% dan sisa dari bahan kering pakan sebesar 32%, sedangkan tingkat konsumsi bahan kering pakan pada ternak sapi bali sebesar 4,7008 kg. Hal ini menunjukkan bahwa tingkat konsumsi terhadap bahan kering pakan pada ternak sapi bali rendah, hasil pengamatan yang telah kami lakukan berbeda dengan  hasil pengamatan yang dikemukakan oleh Arora (1995), tingkat konsumsi bahan kering pakan terhadap pemberian rumput gajah sebesar ,321 kg sedangkan tingkat konsumsi bahan kering pakan terhadap rumput mulato sebesar 16,9111 kg. Hal yang membuat rendahnya konsumsi bahan kering pakan karena kurangnya palatabilitas pada ternak itu sendiri dalam mengkonsumsi bahan kering dari rumput gajah dan rumput mulato, dan juga pada sistem pemeliharaan sebelumnya pada ternak sapi bali dari segi pemberian pakan diberikan rumput lapangan sehingga membuat ternak sapi bali tidak terbiasa dengan bahan kering pakan dari rumput gajah dan rumput mulato.










V. PENUTUP
5.1. Kesimpulan
Berdasarkan hasil praktikum yang telah dilaksanakan dapat disimpulkan bahwa:
1.      Pemeliharaan sapi bali dilaksanakan secara intensif
2.      Konsumsi bahan kering ternak sapi bali yang mengkonsumsi rumput gajah rata-rata 4,092 kg sedangkan konsumsi pada rumput mulato rata-rata 4,7008 kg.
3.      Penambahan bobot badan harian pada ternak sapi bali yang mengkonsumsi rumput gajah rata-rata 0,357 kg dan pada rumput mulato rata-rata 0,286 kg
5.2. Saran
Saran yang dapat saya ajukan yaitu sebaiknya dalam melaksanakan praktikum adalah sebaiknya dalam melaksanakan praktikum alat-alat yang akan digunakan disediakan dengan lengkap dan sebaiknya dalam pelaksanaan praktikum harus ada asisten yang selalu mengawasi jalannya praktikum.





DAFTAR PUSTAKA
ACIAR. 2008. Improving smallholder crop-livestock systems in eastern Indonesia. Project Final Report. Published ACIAR Project No . AS2/2004/005 .
Arora, S. P. 1995. Ilmu Makanan Ternak Umum. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. Annekov, B. N. 1974. Mineral Feeding of Sheep in Mineral Nutrition of Animal Studies in the Agric. and Food Sci. Butterworths, London - Toronto. p. 321-354.
Anggorodi, 1994. Ilmu Makanan Ternak Umum. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.
Parakassi. 1999. Mineral Feeding of Sheep in Mineral Nutrition of Animal Studies in the Agric. and Food Sci. Butterworths, London - Toronto. p. 321-354.
Bahar, S. 2008. Produktivitas hijauan pakan ternak untuk produksi sapi potong di Sulawesi  Selatan.  Prosiding.  Seminar  Nasional  Sapi  Potong  Sulawesi Tengah.  tanggal  24  November  2008.  Kerjasama  antara  Universitas Tadulako Palu dengan Dinas Peternakan Sulawesi Tengah, Palu.
Darmaja,  S.G.N.D.  1980.  Setengah  abad  peternakan  sapi  tradisional  dalam ekosistem pertanian di bali. Disertasi. Universitas Padjajaran. Bandung.
Hare, M.D and Horne, P.M. 2004. Forage seeds for promoting animal production in  Asia.   APSA  Technical  Report  No.  41.  The  Asia  and  Pasific  Seed Asociation, Bangkok, Thailand.
Haryadi. 1996. Penggemukan Sapi Rakyat di Pulau Lombok,  Sistem  dan  Produktifitas.  Jurnal Penelitian. Universitas Mataram
Nurman, M. 2014. Pertumbuhan dan Perkembangan Ternak Potong. Universitas Lampung
Rukmana R. 2005. Budi Daya Rumput Unggul. Kanisius. Yogyakarta.

Santosa, U. 2005. Tata Laksana Pemeliharaan Ternak Sapi. Penerbar Swadaya. Jakarta.

Soetrisno, Djoko., Bambang Suhartanto, Nafiatul Umami. Nilo Suseno. 2008. Ilmu Hijauan Makanan Ternak. Fakultas Peternakan. Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta.

Yudith. 2010. An  Introduction  To  Animal Husbandry In The Tropics. 2nd Ed Longman Group, London.
Reksohadiprodjo. 1985. Produksi Tanaman Hijauan Makanan Ternak Tropik. BPFE. Gadja Mada. Yogyakarta.
Soegiri, H.S., Ilyas, Damayanti, S. Reksohadiprodjo. 1980. Mengenal Beberapa Hijauan Makanan Ternak Tropik. Direktorat Bina Produksi Peternakan. Direktorat Jenderal Peternakan Departemen Pertanian. Jakarta.
Karnaen, L. dan Arifin,. F. S. 2009. Ternak Sapi Bali. Penebar Swadaya. Jakarta.
Anonim. 2012. Ciri-ciri Ternak Sapi Bali. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
Ngadiyono. 2010. Manajemen Ternak Sapi Potong.  Masagena Press. Makassar.
Rusfidra. 2006. Performans  Reproduksi Sapi Bali.  Prosidings Seminar Ruminansia Besar.  Direktorat Jenderal Peternakan dan Fakultas Peternakan IPB. Bogor.





Tidak ada komentar:

Posting Komentar