NUTRISI DAN BAHAN PAKAN TERNAK
Oleh :
Nama : Vina Eka Prasetia N.A.A
Kelas : B
Stambuk : L1A1 14 059
Kelompok : I (Satu)
Asisten : Firman Nasiu S,pt. M,Sc
Jurusan peternakan
Fakultas peternakan
Universitas Halu Oleo
Kendari
2016
I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Indonesia mempunyai kekayaan dan potensi sumber daya genetik ternak sapi potong
nasional, yangtelah dimanfaatkan sebagai sumber pangan daging,tenaga kerja,
energi dan pupuk. Mempertahankan sumber daya ternak lokal pentingartinya untuk
mencapai keamanan panganberkelanjutan bagi jutaan umat manusia.
Ternak potong merupakan salah satu penghasil daging
yang memiliki nilai gizi serta nilai ekonomi yang tinggi. Sejalan dengan
meningkatnya jumlah penduduk, kebutuhan akan konsumsi daging di Indonesia terus
meningkat setiap tahunnya. Peluang usaha beternak sapi potong sangat
menjanjikan karena dengan melihat meningkatnnya permintaan bahan makanan yang
berasal dari hewan sebagai sumber protein hewani khususnya daging. Pertumbuhan ternak potong
meliputi pertumbuhan pre natal dan post natal. Pertumbuhan pre
natal adalah pertumbuhan yang terjadi atau berlangsung di dalam kandungan
induk dan pertumbuhan post natal adalah pertumbuhan yang terjadi atau
berlangsung mulai ternak dilahirkan sampai mati.
Sapi Bali merupakan sapi potong asli Indonesia dan
merupakan hasil domestikasi dari Banteng (Bos-bibos banteng), sapi cukup
potensial untuk dikembangkan karena memiliki kemampuan adaptasi yang cukup baik
serta memiliki produktivitas tinggi.
Sapi Bali merupakan salah satu
pemasok kebutuhan daging nasional. Hal ini terlihat dari tingginya kuota yang
diberikan kepada daerah Bali untuk memenuhi pasar daging di jakarta maupun di
daerah lain di Jawa. Sapi Bali merupakan ternak primadona di Bali, dan banyak
dipelihara oleh masyarakat Bali. Di samping karena kualitas dagingnya yang
baik, sapi Bali juga memiliki persentase karkas yang tinggi 56-58%, bila
dibandingkan dengan ternak yang lainnya Saat ini populasi sapi Bali mencapai
633.789 ekor dan setiap tahun meningkat rata rata 4,11%.
Usaha ternak sapi potong dapat dikatakan
berhasil bila telah memberikan kontribusi pendapatan dan dapat memenuhi
kebutuhan hidup peternak sehari-hari, Agar usaha ternak sapi potong
menghasilkan sapi berkualitas, peternak harus meningkatkan keterampilan dan
pengetahuan mereka dalam beternak sapi potong, antara lain memilih
bibit/bakalan yang baik, sistem pemeliharaan, pemberian pakan yang baik, dan
pengawasan terhadap kesehatan ternak.
Berdasarkan hal
tersebut di atas, maka dilakukanlah praktikum ini untuk dapat mengetahui konsumsi pakan, penambahan bobot badan harian
dan konsumsi bahan kering.
1.2. Tujuan
Tujuan
dilakukannya paraktikum ini adalah:
1.
Untuk mengetahui sistem pemeliharaan ternak sapi bali.
2.
Untuk mengetahui penambahan bobot badan harian pada ternak sapi bali.
3.
Untuk mengetahui konsumsi bahan kering pada ternak sapi bali.
1.3. Manfaat
Manfaat yang dapat diambil dari praktikum ini yaitu :
1.
Dapat
mengetahui sistem pemeliharaan ternak sapi bali.
2.
Dapat
mengetahui penambahan
bobot badan harian pada ternak sapi bali.
3.
Dapat
mengetahui konsumsi
bahan kering pada ternak sapi bali.
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Sapi Bali
Sapi
Bali merupakan sapi potong asli Indonesia dan merupakan hasil domestikasi dari
Banteng (Bos-bibosbanteng) dan merupakan sapi asli Pulau Bali. Sapi Bali
menjadi primadona sapi potong di Indonesia karena mempunyai kemampuan
reproduksi tinggi, serta dapat digunakan sebagai ternak kerja di sawah dan
lading. Potensi produktivitas ternak dasarnya dipengaruhi faktor genetik,
lingkungan serta interaksi antara genetik dan lingkungan (Karnaen dan arifin,
2009).
Ciri
–ciri sapi Bali
yaitu berukuran sedang,
dadanya dalam, tidak berpunuk, kulitnya
berwarna merah bata,
cermin hidung, kuku
dan bulu ujung ekornya
berwarna hitam, kaki-kakinya
ramping pada bagian
bawah persendian karpal dan
tarsal berwarna putih.
Kulit berwarna putih
juga ditemukan pada bagian
pantatnya dan pada
paha bagian dalam
kulit berwarna putih
tersebut berbentuk oval (white
mirror). Pada punggungnya
selalu ditemukan bulu
hitam membentuk garis (garis belut) memanjang dari gumba hingga pangkal
ekor. Sapi Bali jantan
berwarna lebih gelap
bila dibandingkan dengan
sapi Bali betina. Warna bulu sapi Bali jantan biasanya
berubah dari merah bata menjadi coklat tua atau
hitam legam setelah
sapi itu mencapai
dewasa kelamin (Anonima,
2012 ). Sapi Bali jantan
bertanduk dan berbulu warna hitam
kecuali kaki dan pantat. Berat sapi
Bali dewasa berkisar
350 hingga 450
kg, dan tinggi
badannya 130 sampai 140
cm. Sapi Bali
betina juga bertanduk
dan berbulu warna
merah bata kecuali bagian kaki
dan pantat. Dibandingkan
dengan sapi Bali
jantan, sapi Bali
betina relatif lebih kecil dan berat badannya sekitar 250 hingga 350
kg (Darmaja, 1980).
Sapi Bali
adalah salah satu aset nasional yang cukup potensial untuk dikembangkan.
Penyebaran sapi Bali telah meluas hampir ke seluruh wilayah Indonesia, hal ini
terjadi karena breed ini lebih diminati oleh para petani peternak disebabkan
beberapa keunggulan yang dimilikinya, antara lain tingkat kesuburan yang
tinggi, sebagai sapi pekerja yang baik dan efisien serta dapat memanfaatkan
hijauan yang kurang bergizi dimana bangsa lain tidak dapat, persentase karkas
tinggi, daya adaptasi yang tinggi terhadap lingkungan dan persentase beranak
dapat mencapai 80% (Ngadiyono, 2010).
Seleksi
sapi bali dapat menyebabkan perubahan keragaman genetik, tergantung pada cara
seleksi yang digunakan. Seleksi secara langsung mengakibatkanragam genetik
berkurang sampai tercapainya keadaan konstan pada suatu generasi tertentu.
Dalam seleksi terarah suatu sifat yang dikehendaki maka mutu genetik dapat ditingkatkan.
Dalam memilih suatusifat untuk dijadikan dasar seleksi perlu dipertimbangkan
beberapa hal, yaitu tjuan program seleksi, ilai heritabilitas suatu sifat,
nilai ekonomi dari adanya peningkatan sifat, korelasi antar sifat serta baya
dan waktu dari program seleksi. Beberapa sifat yang empunyai nilai ekonomi
tinggi meliputi fertilisasi, daya hidup, bobot lahir, bobot sapi, tipe dan
konformasi tbuh, obot dan kualitas bulu (Rusfidra, 2006).
2.2.
Rumput Gajah (Penneisetum purpureum)
Rumput gajah merupakan rumput uggul yang berasal dari
Afrika tropik, termasuk jenis rumput potong yang berumur panjang (parennial),
tumbuh tegak membentuk rumput, tinggi dapat mencapai 7 meter bila dibiarkan
bebas dan kedalaman akar mencapai 4,5 meter (Reksohadiprodjo, 1985). Rumput ini
dapat tumbuh pada ketinggian 0-3000 meter diatas permukaan laut (dpl), dengan
curah hujan 1000 mm/tahun, tidak tahan genangan dan membutuhkan tanah subur.
Rumput gajah disukai ternak, tahan terhadap kekeringan, produksi dan nilai
gizinya tinggi serta baik untuk silase (Soegiri et al, 1980).
Rumput Gajah merupakan
jenis rumput yang sering dibudidayakan sebagai pakan untuk ternak. Berat yang
dimiliki oleh rumput gajah lebih rendah daripada rumput raja. Intensitas
pemotongan yang umum dilakukan untuk rumput gajah yaitu ruas ketiga dari
pangkal batang. Interval pemotongan pada umumnya 40 hari sekali pada musim
hujan dan 60 hari sekali pada musim kemarau (Rukmana, 2005).
Pertumbuhan tanaman
rumput. Cara pengembangbiakan utama tanaman rumput adalah dengan vegetatif,
transisi, dan reproduktif. Fase vegetatif, batang sebagian besar terdiri atas
helaian daun. Leher helaian daun tetap terletak di dasar batang, tidak terjadi
pemanjangan selubung daun atau perkembangan kulmus, sebagai respon terhadap
temperatur dan panjang hari kritis, meristem apikal secara gradual berubah dari
tunas vegetatif menjadi tunas bunga. Hal ini disebut induksi pembungaan. Fase
perubahan ini disebut dengan fase transisi. Selama fase transisi helaian daun
mulai memanjang. Internodus kulmus juga mulai memanjang. Fase reproduktif
(pembuangan) dimulai dengan perubahan ujung batang dari kondisi vegetatif ke
tunas bunga (Soetrisno et al., 2008).
2.3.
Rumput Mulato
Rumput mulato merupakan persilangan antara rumput Brachiaria
ruziziensis clone 44-06 dengan Brachiaria brizantha cv. Marandu (Rosseau dkk., 1998). Total produksi bahan
kering hijauan dari 3 kali panen adalah 12,04 t/ha. Selain itu petani juga suka
karena untuk potong-angkut tidak membuat tangan dan badan gatal -gatal. Hal
yang perlu diperhatikan untuk tumbuh
dan berkembangnya lebih
baik rumput Mulato
ini adalah masalah drainase. Pada lahan yang drainasenya
buruk, rumput Mulato tidak dapat tumbuh dengan
baik karena drainase
yang buruk mengakibatkan
buruknya pula kondisi aerasi tanah.
Hal lain adalah
pada daerah yang
bercurah hujan tinggi
sangat dimungkinkan rumput Mulato
terserang oleh Rhizoctonia
yaitu cendawan yang menyerang akar (Bahar, 2008).
Khusus tentang
rumput Brachiaria terdapat
beberapa spesies rumput Brachiaria yang
memiliki nilai ekonomi
yang penting bagi
produksi ternak di daerah
tropik. Namun demikian
semua spesies rumput
Brachiaria tersebut memiliki keterbatasan. Contohnya
Brachiaria decumbens cv.
Basilisk dapat tumbuh baik
di musim kemarau
tetapi kualitas hijauannya
rendah dan menghasilkan benih
yang sedikit di banyak areal di Asia Tenggara.
Brachiaria ruziziensis (Ruzi grass)
banyak digunakan di
Asia Tenggara tetapi
kurang beradaptasi pada musim
kemarau panjang dan
segera mati di
daerah -daerah tersebut (Hare dan Horne, 2004).
Rumput
Mulato ini sangat disukai ternak sapi, salah satu penyebabnya adalah batang dan
daunnya yang lembut dan agak berbulu . Selain itu petani juga suka karena untuk
potong-angkut tidak membuat tangan dan badan gatal-gatal . Hal yang perlu
diperhatikan untuk tumbuh dan berkembangnya lebih baik rumput Mulato ini adalah
masalah drainase . Pada lahan yang drainasenya buruk, rumput Mulato tidak dapat
tumbuh dengan baik karena drainase yang buruk mengakibatkan buruknya pula
kondisi aerasi tanah . Hal lain adalah pada daerah yang bercurah hujan tinggi sangat
dimungkinkan rumput Mulato terserang oleh Rhizoctonia yaitu cendawan yang menyerang
akar (Aciar, 2008).
2.4.
PBB (Penambahan Bobot Badan)
Penambahan bobot badan merupakan fase bertambahnya berat badan yang terjadi
pada ternak dengan tujuan meningkatkan produksi dagingnya dengan cara
memberikan pakan yang bermutu tinggi dan berkualitas baik. Penambahan bobot
badan pada ternak dipengaruhi oleh tingkat konsumsi pada ternak dan juga
tingkat nutrisi yang terkandung dalam pakan ternak yang diberikan, semakin
tinggi tingkat konsumsi dan nilai nutrisi pada pakan maka semakin cepat laju pertumbuhan
pada ternak sehingga mempepengaruhi bobot badan ternak (Nurman, 2014).
Persen
laju pertumbuhan selalu menurun sepanjang hidup ternak, laju pertumbuhan
tertinggi dicapai saat terjadinya pembuahan, meskipun laju pertumbuhannya sama,
ternak yang lebih kecil tumbuh tiga kali lebih cepat bila perbandingan dibuat
dalam persen laju pertumbuhan. Sebagai gambaran untuk memperjelas pernyataan
tersebut disajikan data pertumbuhan sapi bobot 100 kg dan 300 kg dengan
pertambahan bobot badan harian (PBBH) yang sama (1,0 kg).Pertumbuhan adalah
pertambahan dalam bentuk dan berat jaringanjaringan pembangun seperti urat
daging, tulang, otak, jantung dan semua jaringan tubuh (kecuali jaringan
lemak), serta alat-alat tubuh lainnya. Lebih lanjut dikatakan pertumbuhan murni
adalah penambahan dalam jumlah protein dan zatzat mineral, sedangkan
pertambahan akibat penimbunan lemak atau air bukanlah pertumbuhan murni
(Anggorodi, 1984).
2.5.
Konsumsi Pakan
Konsumsi pakan
adalah kemampuan ternak
untuk menghabiskan pakan yang tersedia secara ad-libitum. Adapun rata-rata konsumsi pakan
sapi Bali dengan rata-rata konsumsi
pakan sapi Bali
betina yang berumur 2
tahun memiliki rata-rata
konsumsi pakan 11,1% dan
mencapai persentase dari berat badan awal yakni 8,1% serta sapi Bali
betina yang berumur 1 tahun memiliki
rata-rata konsumsi pakan 7,6% dan persentase rumput dari berat badan
awal mencapai 8,0%
lebih tinggi dibandingkan
dengan umur dan jenis
kelamin sapi Bali
jantan sehingga dapat
diasumsikan bahwa, sapi
Bali betina memiliki tingkat
konsumsi dan palatabilitas
pakan sangat baik.
Selain itu kebutuhan sapi Bali
betina lebih tinggi dapat pula disebabkan karena selain untuk memenuhi kebutuhan
hidupnya, betina juga
mempersiapkan kebutuhan nutrisi untuk
produktivitasnya. Hal ini
diperkuat oleh parakkasi,
(1999) bahwa tingkat pemberian makanan
yang cukup bagi
calon induk muda
untuk memenuhi kebutuhan pertumbuhan
dan kebuntingannya sehingga
kebutuhan nutrisi dapat terpenuhi dan tidak bersaing dengan kebutuhan
pertumbuhan induk muda (Yudith,
2010).
III. METODOLOGI PRAKTIKUM
3.1. Waktu dan Tempat
Praktikum ini
dilaksanakan selama 14 hari pada
bulan April 2016 dan bertempat di Kandang Ternak Ruminansia Jurusan Peternakan Fakultas Peternakan
Universitas Halu Oleo.
3.2. Materi Praktikum
Alat yang diggunakan dalam praktikum ini dapat dilihat
pada Tabel 1.
Tabel
1.
Alat beserta kegunaan yang digunakan dalam praktikum
No
|
Nama
alat
|
Kegunaan
|
1
2
3
4
5
|
Alat
tulis
Timbangan
Parang
Amplop
|
Untuk
menuliskan hasil pengamatan
Untuk menimbang
bobot sapi dan berat rumput
Untuk mengambil dan memotong rumput
Untuk
menyimpan sampel awal dan akhir
|
Ember
|
Digunakan sebagai alat untuk
mengangkat air
|
Bahan yang digunakan dalam
praktikum ini dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2.Bahan Beserta Kegunaan Yang Digunakan Dalam
Praktikum
No
|
Bahan
pengamatan
|
Kegunaan
|
1
|
Sapi Bali
|
Sebagai
bahan yang diamati
|
2
|
Rumput Gajah
|
Sebagai
bahan yang diamati
|
3
|
Rumput Mulato
|
Sebagai
bahan yang diamati
|
3.3.
Prosedur Kerja
Adapun
langkah-langkah atau metode yang dilakukan dalam praktikum kandang adalah sebagai berikut :
1.
Pengambilan
rumput yang di lakukan pada sore hari,
2.
Proses
pemotongan rumput,
3.
Keesokan
harinya pembersian kandang sapi, penimbangan sapi bali, pemberian pakan 10%
dari bobot badan ternak sapi, pemberian pakan (rumput) yang telah ditimbang dan
pengambilan air untuk minum ternak sekaligus pengambilan sampel awal sebesar
500 gr untuk dibawah ke lab nutrisi untuk di oven lalu ditimbang bahan
keringnya,
4.
Siang
harinya dilakukan penimbangan pada sisa pakan ternak
dan pemberian pakan (rumput) baru
yang telah ditimbang pada ternak sapi bali
5.
Sore
harinya dilakukan penimbangan pada sisa pakan ternak dan pemberian pakan
(rumput) baru yang telah ditimbang pada ternak sapi bali
6.
Keesokan
harinya lagi atau pagi hari penimbangan sisa pakan sekaligus pengambilan sampel
akhir sebesar 500 gr untuk dibawah ke lab nutrisi untuk di oven lalu ditimbang
bahan keringnya.
7. Menuliskan
hasil pengamatan
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. Hasil Pengamatan
No
|
Pakan
|
BB (kg)
|
PBBH (kg)
|
Pakan (Kg)
|
Bahan Kering Pakan
|
|||||
Awal
|
Akhir
|
Pemberian
|
Sisa
|
Pemberian (%)
|
Sisa (%)
|
Konsumsi
(kg)
|
||||
1.
|
Rumput gajah
|
259
|
264
|
0,357
|
25,5
|
5,04
|
20
|
20
|
4,092
|
|
2.
|
Rumput mulato
|
234
|
238
|
0,286
|
23,5
|
8,81
|
32
|
32
|
4,7008
|
|
4.2. Pembahasan
4.2.1. Pemeliharaan Ternak
Berdasarkan pada praktikum yang telah dilakukan selama 14
hari kami melakukan pemeliharaan pada ternak sapi bali dengan cara intensif,
pemeliharaan secara intensif dibagi
menjadi dua yaitu ternak sapi dikandangkan secara terus menerus dan ternak sapi
dikandangkan pada saat malam hari kemudian siang hari digembalakan. Tetapi
sistem pemeliharaan yang kami lakukan adalah pemeliharaan ternak sapi
dikandangkan secara terus menerus, pakan yang kami berikan dengan cara
menyediakan pakan didalam kandang yang telah kami ambil di padang rumput lalu
memotongnya agar ternak sapi mudah untuk mengkonsumsinya pakan yang kami
berikan telah ditentukan yaitu rumput gajah dan rumput mulato. Sementara untuk
menjaga kebersihan kandang ternak sapi kami
melakukan pembersihan kandang setiap pagi dan pemberian air minum
dilakukan ketika air minumnya mulai berkurang. Pemeliharaan ternak
secara intensif adalah sistem
pemeliharaan ternak sapi
dengan cara dikandangkan
secara terus menerus
dengan sistem pemberian
pakan secara cut
and curry. Sistem
ini kami lakukan karena kami
ingin mengetahui tingkat palatabilitas pada ternak sapi dan juga mengetahui
penambahan bobot badan harian pada ternak sapi. Hal ini sesuai dengan hasil pengamatan yang dilakukan (Santosa,
2005) bahwa pemelihraan yang dilakukan pada ternak sapi bali secara intensif,
pakan yang kami berikan dengan cara menyediakan pakan didalam kandang yang
telah di ambil di padang rumput lalu memotongnya agar ternak sapi mudah untuk
mengkonsumsinya.
4.2.2. PBB (Penambahan Bobot Badan)
Berdasarkan hasil pengamatan dalam praktikum yang telah
kami lakukan pada ternak sapi bali pada perlakuan pertama dengan memberikan
pakan rumput gajah memiliki bobot badan awal pada saat ditimbang pada pagi hari
yaitu 259 kg, penambahan bobot badan pada ternak sapi bali pada saat ditimbang
14 hari kemudian memiliki bobot badan 264 kg dan penambahan bobot badan
hariannya yaitu 0,357 kg. Pada perlakuan
kedua dengan memberikan pakan rumput mulato memiliki bobot badan awal pada saat
ditimbang 234 kg dan penambahan bobot badan pada ternak sapi bali pada saat
ditimbang 14 hari kemudian memiliki bobot badan 238 kg dan penambahan bobot
badan hariannya yaitu 0,284 kg, hal ini menunjukkan bahwa adanya penambahan
bobot badan yang terjadi pada ternak sapi bali tetapi penambahan bobot badan
yang terjadi sangat kurang. Hasil pengamatan dalam praktikum yang telah kami
lakukan berbeda dengan hasil pengamatan yang dilakukan oleh Haryadi (1996),
yang mengemukakan bahwa pemberian pakan rumput gajah untuk ternak sapi bali
dengan berat awal 263 kg penambahan bobot badannya yaitu 312 kg, hal yang
membuat tingginya penambahan atau peningkatan bobot badan pada ternak sapi bali
karena pemberian pakan rumput gajah sudah diberikan sejak awal dengan pemberian
pakan dilakukan dengan pergantian jenis-jenis pakan, sehingga ternak tidak kaget
dengan perubahan pakan. Sedangkan pemberian pakan rumput mulato untuk ternak
sapi bali dengan berat awal 246 kg penambahan bobot badannya yaitu 268 kg hal
yang membuat tingginya penambahan bobot badan pada ternak sapi bali karena
pemberian pakan rumput mulato sudah diberikan sejak awal dengan pemberian pakan
dilakukan dengan pergantian jenis-jenis pakan, sehingga ternak tidak kaget
dengan adanya perubahan pakan. Hal ini berbeda dengan hasil pengamatan yang
telah kami lakukan, hal yang membuat kurangnya penambahan bobot badan pada
ternak yang kami amati karena terjadinya perubahan pemberian pakan, pada rumput
mulato adanya bulu-bulu halus sehingga membuat rendahnya palatabilitas pada
ternak sapi bali, dan pada saat pemberian pakan berlangsung adanya suara-suara
bising dari suara praktikan yang membuat ternak stres sehingga nafsu makan pada ternak berkurang
atau menurun dan juga pada sistem pemeliharaan yang berubah sehingga membuat
ternak tidak terbiasa.
4.2.3. Konsumsi Bahan Kering
Berdasarkan hasil pengamatan dalam
praktikum yang telah kami lakukan konsumsi bahan kering terhadap ternak sapi
bali pada pemberian pakan rumput gajah dalam pemberian bahan kering pakan
sebesar 20% dan sisa dari bahan kering
pakan sebesar 20%, sedangkan tingkat konsumsi bahan kering pakan pada ternak
sapi bali sebesar 4,092 kg. Pada pemberian pakan rumput mulato dalam pemberian
bahan kering pakan sebesar 32% dan sisa dari bahan kering pakan sebesar 32%,
sedangkan tingkat konsumsi bahan kering pakan pada ternak sapi bali sebesar
4,7008 kg. Hal ini menunjukkan bahwa tingkat konsumsi terhadap bahan kering
pakan pada ternak sapi bali rendah, hasil pengamatan yang telah kami lakukan
berbeda dengan hasil pengamatan yang
dikemukakan oleh Arora (1995), tingkat konsumsi bahan kering pakan terhadap pemberian
rumput gajah sebesar ,321 kg sedangkan tingkat konsumsi bahan kering pakan
terhadap rumput mulato sebesar 16,9111 kg. Hal yang membuat rendahnya konsumsi
bahan kering pakan karena kurangnya palatabilitas pada ternak itu sendiri dalam
mengkonsumsi bahan kering dari rumput gajah dan rumput mulato, dan juga pada
sistem pemeliharaan sebelumnya pada ternak sapi bali dari segi pemberian pakan
diberikan rumput lapangan sehingga membuat ternak sapi bali tidak terbiasa
dengan bahan kering pakan dari rumput gajah dan rumput mulato.
V. PENUTUP
5.1. Kesimpulan
Berdasarkan
hasil praktikum yang telah dilaksanakan dapat disimpulkan bahwa:
1.
Pemeliharaan
sapi bali dilaksanakan secara intensif
2.
Konsumsi
bahan kering ternak sapi bali yang mengkonsumsi rumput gajah rata-rata 4,092 kg
sedangkan konsumsi pada rumput mulato rata-rata 4,7008 kg.
3.
Penambahan
bobot badan harian pada ternak sapi bali yang mengkonsumsi rumput gajah
rata-rata 0,357 kg dan pada rumput mulato rata-rata 0,286 kg
5.2.
Saran
Saran yang dapat saya ajukan yaitu
sebaiknya dalam melaksanakan praktikum adalah sebaiknya dalam melaksanakan praktikum alat-alat yang akan digunakan
disediakan dengan lengkap dan sebaiknya dalam pelaksanaan praktikum harus ada
asisten yang selalu mengawasi jalannya praktikum.
DAFTAR
PUSTAKA
ACIAR.
2008. Improving smallholder crop-livestock
systems in eastern Indonesia. Project Final Report. Published ACIAR Project
No . AS2/2004/005 .
Arora,
S. P. 1995. Ilmu Makanan Ternak Umum.
Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. Annekov, B. N. 1974. Mineral Feeding of Sheep
in Mineral Nutrition of Animal Studies in the Agric. and Food Sci.
Butterworths, London - Toronto. p. 321-354.
Anggorodi, 1994. Ilmu Makanan Ternak Umum. Gramedia
Pustaka Utama. Jakarta.
Parakassi. 1999. Mineral Feeding of Sheep in Mineral
Nutrition of Animal Studies in the Agric. and Food Sci. Butterworths,
London - Toronto. p. 321-354.
Bahar,
S. 2008. Produktivitas hijauan pakan
ternak untuk produksi sapi potong di Sulawesi
Selatan. Prosiding. Seminar
Nasional Sapi Potong
Sulawesi Tengah. tanggal 24
November 2008. Kerjasama
antara Universitas Tadulako Palu
dengan Dinas Peternakan Sulawesi Tengah, Palu.
Darmaja, S.G.N.D.
1980. Setengah abad peternakan
sapi tradisional dalam ekosistem pertanian di bali.
Disertasi. Universitas Padjajaran. Bandung.
Hare,
M.D and Horne, P.M. 2004.
Forage seeds for
promoting animal production in
Asia. APSA Technical
Report No. 41.
The Asia and
Pasific Seed Asociation, Bangkok,
Thailand.
Haryadi. 1996. Penggemukan Sapi Rakyat di Pulau
Lombok, Sistem dan
Produktifitas. Jurnal Penelitian.
Universitas Mataram
Nurman,
M. 2014. Pertumbuhan
dan Perkembangan Ternak Potong. Universitas Lampung
Rukmana R. 2005. Budi Daya Rumput Unggul. Kanisius. Yogyakarta.
Santosa, U. 2005. Tata Laksana Pemeliharaan Ternak Sapi. Penerbar Swadaya. Jakarta.
Soetrisno, Djoko., Bambang Suhartanto,
Nafiatul Umami. Nilo Suseno. 2008. Ilmu
Hijauan Makanan Ternak. Fakultas Peternakan. Universitas Gadjah Mada.
Yogyakarta.
Yudith.
2010. An Introduction
To Animal Husbandry In The
Tropics. 2nd Ed Longman Group, London.
Reksohadiprodjo. 1985. Produksi Tanaman Hijauan Makanan Ternak
Tropik. BPFE. Gadja Mada. Yogyakarta.
Soegiri, H.S., Ilyas,
Damayanti, S. Reksohadiprodjo. 1980. Mengenal
Beberapa Hijauan Makanan Ternak Tropik. Direktorat Bina Produksi
Peternakan. Direktorat Jenderal Peternakan Departemen Pertanian. Jakarta.
Karnaen, L. dan Arifin,. F. S. 2009. Ternak
Sapi Bali. Penebar Swadaya. Jakarta.
Anonim. 2012. Ciri-ciri Ternak Sapi
Bali. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
Ngadiyono. 2010. Manajemen Ternak
Sapi Potong. Masagena Press.
Makassar.
Rusfidra. 2006. Performans Reproduksi Sapi Bali. Prosidings Seminar Ruminansia Besar. Direktorat Jenderal Peternakan dan Fakultas
Peternakan IPB. Bogor.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar