Minggu, 11 Juni 2017

Makalah ANEKA TERNAK DAN SATWA HARAPAN “Taman Nasional Rawa Aopa Watumohai”

Makalah
ANEKA TERNAK DAN SATWA HARAPAN
“Taman Nasional Rawa Aopa Watumohai”

 



                                                

Oleh :
KELOMPOK III


            VINA EKA PRASETIA NUR AULIA ANISA    L1A1 14 059
SALWATI                                                                 L1A1 14 183
ABDILLAH UMUL BACHMID                            L1A1 14 137
RAHMAT MULHAZAA                                         L1A1 14 081
SETIAWAN                                                              L1A1 14 058





JURUSAN PETERNAKAN
FAKULTAS PETERNAKAN
UNIVERSITAS HALU OLEO
KENDARI
2017
BAB I
PENDAHULUAN
1.1.       Latar Belakang
Perkembangan usaha peternakan telah sampai pada upaya perluasan jenis-jenis hewan yang diusahakan untuk diambil hasilnya. Perluasan ini dibuktikan dengan munculnya istilah baru, yaitu ‘satwa harapan’. Berdasarkan perbedaan dari definisi antara hewan dan ternak, dimana hewan adalah semua binatang yang hidup di darat, baik yang dipelihara maupun yang liar. Ternak adalah hewan piaraan yang kehidupannya diatur dan diawasi oleh manusia serta dipelihara khusus untuk diambil hasil dan jasanya bagi kepentingan hidup manusia. Satwa harapan dapat didefinisikan sebagai binatang atau satwa selain binatang yang dipelihara atau diternakan tersebut dan diharapkan apabila diusahakan dapat menghasilkan bahan dan jasa seperti ternak. Berbagai jenis satwa harapan tersebut, contohnya antara lain ; burung (burung puyuh,ayam hutan), cucak rawa, reptil (ular,buaya), ikan arwana, kupu-kupu, banteng, rusa, gajah dan anoa.
Pada umumnya, alasan utama manusia melakukan budidaya satwa liar adalah karena alasan ekonomis yang berasal dari bermacam-macam produk, misalnya ; daging, minyak, gading/tanduk/taring, kulit sampai pada pemanfaatan bulu dan nilai keindahan dari kekhasannya. Salah satu cara budi daya dan pengembangan satwa liar menjadi komoditi domesti adalah domestikasi atau penangkaran. Ada beberapa pola penangkaran yang dikembangkan, yaitu game ranching dan game farming. Pola penangkaran ini telah berkembang di Afrika, Amerika Serikat dan Australia. Di Indonesia sendiri pola ini telah di coba dikembangkan untuk jenis-jenis ayam hutan, burung, reptil (buaya, ular, penyu) dan ungulata (rusa, banteng).
Salah satu hewan liar yang telah dilakukan penangkaran yaitu ular kini telah lama dilakukan di Indonesia dan sekarang telah mengalami perkembangan yang sangat pesat karena beberapa factor yaitu kebutuhan ekonomi dengan memanfaatkan kulit ular itu sendiri untuk dijadikan bahan pembuatan tas, sepatu dan lainnya serta ular juga dijadikan hewan peliharaan.
1.2.Tujuan dan Manfaat
   Tujuan dan manfaat yang dapat diambil dalam makalah ini yaitu dapat mengetahui bahwa ular sebagai hewan satwa harapan.










  














BAB II
PEMBAHASAN
2.1. Penangkaran Satwa Harapan
Satwa harapan dapat didefinisikan sebagai binatang atau satwa selain binatang yang dipelihara/diternakan tersebut dan diharapkan apabila diusahakan dapat menghasilkan bahan dan jasa seperti ternak. Berbagai jenis satwa harapan tersebut, contohnya antara lain ; burung (burung puyuh,ayam hutan), cucak rawa, reptil (ular,buaya), ikan arwana, kupu-kupu, banteng, rusa, gajah dan anoa (Arifin, 2014).
Pada umumnya, alasan utama manusia melakukan budidaya satwa liar adalah karena alasan ekonomis yang berasal dari bermacam-macam produk, misalnya ; daging, minyak, gading/tanduk/taring, kulit sampai pada pemanfaatan bulu dan nilai keindahan dari kekhasannya. Salah satu cara budi daya dan pengembangan satwa liar menjadi komoditi domestik adalah domestikasi atau penangkaran. Ada beberapa pola yang dikembangkan, yaitu game ranching dan game farming.
Ø Game Ranching
Game ranching adalah penangkaran yang dilakukan dengan sistem pengelolaan yang ekstensif. Ada dua arti yang berbeda (Robinson dan Bolen, 1984), pertama, suatu kegiatan penangkaran yang menghasilkan satwa liar untuk kepentingan olah raga berburu, umumnya jenis binatang eksotik, kedua, adalah kegiatan penangkaran satwa liar untuk menghasilkan daging, kulit, maupun binatang kesayangan, seperti misalnya burung, ayam hutan dan sebagainya. Pola penangkaran ini telah berkembang di Afrika, Amerika Serikat dan Australia. Di Indonesia sendiri pola ini telah di coba dikembangkan untuk jenis-jenis ayam hutan, burung, reptil (buaya, ular, penyu) dan ungulata (rusa, banteng).
Ø Game Farming
Game farming yaitu kegiatan penangkaran satwa liar dengan tujuan untuk menghasilkan produk-produk seperti misalnya kulit, bulu, minyak dan taring/gading/tanduk. Dalam pola ini dikembangkan juga penjinakan untuk keperluan tenaga kerja, misalnya gajah.
Prinsip penangkaran adalah pemeliharaan dan perkembangbiakaan sejumlah satwa liar yang sampai pada batas-batas tertentu dapat diambil dari alam, tetapi selanjutnya pengembangannya hanya diperkenankan diambil dari keturunan-keturunan yang berhasil dari penangkaran tersebut. Ada empat syarat untuk mengembangkan komoditi domestik melalui penangkaran agar diperoleh hasil maksimal, yaitu :
·          Obyek (satwa liar), perlu memperhatikan populasinya di alam apakah mencukupi atau tidak, kondisi species (ukuran badan, perilaku) dan proses pemeliharaan sertta pemanfaatannya. 
·         Penguasaan ilmu dan teknologi, meliputi pengetahuan tentang ekologi satwa liar serta dikuasainya teknologi yang sesuai dengan keadaan perkembangan dunia. 
·         Tenaga terampil untuk menggali dasar ekologi ataupun cara pengelolaan pada proses penangkaran
·         Masyarakat, berkaitan erat dengan sosial budaya dan diharapkan sebagai sasaran utama dalam proses pemasaran produk.
Penangkaran dalam rangka budi daya dilakukan dengan sasaran utama komersiil terutama dari segi peningkatan kualitasnya, sehingga metode yang diterapkan lebih ditujukan untuk peningkatan jumlah produksi yang ditentukan oleh kaidah-kaidah ekonomi dan dikendalikan pasar. Metode  ini menerapkan teknologi reproduksi yang tinggi, seperti misalnya : inseminasi buatan, transplantasi embrio, agar dapat dihasilkan keturunan jantan yang baik, sehingga terjadi peningkatan genetik. Namun demikian, ini hanya boleh dilakukan bagi satwa/binatang hasil penangkaran pertama (F1) karena menyangkut nilai sosial etis dan undang-undang tentang perlindungan satwa liar yang merupakan satwa langka (Muhibbah, 2007).
Suatu alasan yang sangat penting agar peternakan satwa liar dapat dikembangkan adalah karena satwa liar mempunyai daya adaptasi yang lebih tinggi dibandingkan ternak lain, selain proses pengelolaannya jauh lebih mudah dan hasilnya sangat memuaskan. Hal-hal penting yang perlu diperhatikan untuk memperbesar kemungkinan domestikasi/penangkaran adalah anggapan bahwa satwa liar tidak dapat didomestikasikan adalah karena kualitas keliaran. Hal ini sama skali tidak benar, sebab mamalia liar dapat dijinakan sama mudahnya seperti yang lain (Subronto, 2002). Hal lainnya yang perlu juga diperhatikan adalah pendapat bahwa pada domestikasi ada satu atau dua spesies yang tidak dapat mengeksploitasi potensi vegetasi makanannya secara penuh seperti pada saat mereka hidup di alam bebas. Hal ini mungkin ada benarnya dan dapat dibuktikan pada satwa-satwa domestik seperti misalnya jenis hewan pemakan semak (sapi dan kambing), pemakan rumput (domba). Sapi akan memakan hijauan sampai pada tingkat tertentu dan kambing akan merumput maupun memakan semak apabila terpaksa. Hal ini berarti bahwa mereka mampu memanfaatkan suatu selang vegetasi yang luas meskipun ada tumbuh-tumbuhan yang tidak mereka makan.
2.2. Pengertian Ular
Ular adalah reptilia tak berkaki dan bertubuh panjang. Ular memiliki sisik seperti kadal dan sama-sama digolongkan ke dalam reptil bersisik (Squamata). Perbedaannya adalah kadal pada umumnya berkaki, memiliki lubang telinga, dan kelopak mata yang dapat dibuka tutup. Akan tetapi untuk kasus-kasus kadal tak berkaki (misalnya Ophisaurus spp.) perbedaan ini menjadi kabur dan tidak dapat dijadikan pegangan. namun ular tetap dapat dibedakan karena ular tidak memiliki telinga dan kelopak mata (Purnomoadi, 2003).
2.2.1. Habitat Ular
Ular merupakan salah satu reptilia yang paling sukses berkembang di dunia. Di gunung, hutan, gurun, dataran rendah, lahan pertanian, lingkungan pemukiman, sampai ke lautan, dapat ditemukan ular. Kebanyakan spesies ular hidup di daerah tropis, sebagaimana umumnya hewan berdarah dingin, ular tidak dapat ditemui di tempat-tempat tertentu seperti di puncak-puncak gunung dan daerah padang salju atau kutub. Ular juga tidak bisa ditemui di daerah Irlandia, Selandia baru, Greenland, pulau-pulau terisolasi di Pasifik seperti Hawaii, serta Samudera Atlantik.
Banyak jenis-jenis ular yang sepanjang hidupnya berkelana di pepohonan dan hampir tak pernah menginjak tanah. Banyak jenis yang lain hidup melata di atas permukaan tanah atau menyusup-nyusup di bawah serasah atau tumpukan bebatuan. Ada juga ular yang hidup di sungai, rawa, danau, dan laut.
2.2.2. Makanan Ular
Ular adalah hewan karnivora, mereka memangsa berbagai jenis hewan lebih kecil dari tubuhnya. Ular pohon dan ular darat memangsa burung, mamalia, kodok, jenis-jenis reptil yang lain, termasuk telur-telurnya. Ular-ular besar seperti ular sanca kembang dapat memangsa kambing, kijang, rusa dan bahkan manusia. Ular-ular yang hidup di perairan memangsa ikan, kodok, berudu, dan bahkan telur ikan.
Ular memakan seluruh mangsanya tanpa sisa dan mampu mengkonsumsi mangsa tiga kali lebih besar dari diameter kepala mereka. Hal ini dikarenakan rahang mereka lebih rendah dan dapat terpisah dari rahang atas. Selain itu ular memiliki gigi menghadap kebelakang yang menahan mangsanya tetap di mulut mereka. Hal ini mencegah mangsa melarikan diri.
2.2.3. Ciri-ciri Ular
Ular tidak memiliki daun telinga dan gendang telinga, tidak mempunyai keistimewaan atau ketajaman indera mata maupun telinga. Matanya selalu terbuka dan dilapisi selaput tipis sehingga mudah melihat gerakan di sekelilingnya, namun tidak dapat memfokuskan pandangannya. Ular hanya dapat melihat dengan jelas dalam jarak dekat. Indera yang menjadi andalan ular adalah sisik pada perutnya, yang dapat menangkap getaran langkah manusia atau binatang lainnya. Ular tidak membau mangsa melalui lubang hidung, melainkan menggunakan lidah mereka yang dapat mendeteksi bau di udara. Organ ini biasa disebut organ Jacobson. beberapa jenis ular juga dapat mengetahui perubahan suhu karena kedatangan makhluk lainnya, contohnya ular tanah memiliki ceruk pendeteksi panas yang peka sekali. Organ itu berfungsi untuk mendeteksi energi panas (kalor) yang terpancar dari badan hewan berdarah panas.
2.2.4. Perilaku Ular
Ular memakan mangsanya bulat-bulat, tanpa dikunyah menjadi keping-keping yang lebih kecil. Gigi di mulut ular tidak memiliki fungsi untuk mengunyah, melainkan sekedar untuk memegang mangsanya agar tidak mudah terlepas. Agar lancar menelan, ular biasanya memilih menelan mangsa dengan kepalanya lebih dahulu.
Beberapa jenis ular, seperti sanca dan ular tikus, membunuh mangsa dengan cara melilitnya hingga tak bisa bernapas. Ular-ular berbisa membunuh mangsa dengan bisanya, yang dapat melumpuhkan sistem saraf pernapasan dan jantung (neurotoksin), atau yang dapat merusak peredaran darah (hemotoksin), dalam beberapa menit saja. Bisa yang disuntikkan melalui gigitan ular itu biasanya sekaligus mengandung enzim pencerna, yang memudahkan pencernaan makanan itu apabila telah ditelan.
Seperti kebanyakan reptilia lain, untuk menghangatkan suhu tubuh dan juga untuk membantu kelancaran pencernaan, ular kerap kali berjemur (basking) di bawah sinar matahari. Sebagai hewan eksoterm, berjemur merupakan salah cara ular mempertahankan suhu tubuhnya secara eksternal. Ular yang hidup didaerah sub-tropis selalu berhibernasi selama musim dingin. Ular juga harus berganti kulit tiga sampai enam kali per tahun.
2.2.5. Reproduksi Ular
Sekitar 70% dari semua jenis ular berkembang biak dengan bertelur (ovipar). Jumlah telurnya bisa beberapa butir saja, hingga puluhan dan ratusan butir. Ular meletakkan telurnya di lubang-lubang tanah, gua, lubang kayu lapuk, atau di bawah timbunan daun-daun kering. Beberapa jenis ular diketahui menunggui telurnya hingga menetas; bahkan ular sanca ‘mengerami’ telur-telurnya.
Sebagian ular, seperti ular kadut belang, ular pucuk dan ular bangkai laut ‘melahirkan’ anak. Sebetulnya, ular-ular ini tidak melahirkan seperti halnya mamalia, melainkan telurnya berkembang dan menetas di dalam tubuh induknya (ovovivipar), lalu keluar sebagai ular kecil-kecil. Sejenis ular primitif, yakni ular buta atau ular kawat (Indotyphlops braminus), sejauh ini hanya diketahui yang betinanya. Ular yang mirip cacing kecil ini diduga mampu bertelur dan berbiak tanpa ular jantan (partenogenesis).
2.3. Jenis-Jenis Ular yang Dilindungi
Ular di Indonesia cukup bervariasi, ada yang menyayanginya sebagai hewan peliharaan, memanfaatkannya untuk mengatasi hama tikus, hingga persepsi negatif sebagai jenis hewan yang membahayakan manusia. Stigma negative mengenai jenis-jenis ular di Indonesia ,masih sangat umum melekat dalam kehidupan masyarakat kita (Sudarmono dan Y. Bambang Sugeng, 2008).
Kondisi sosial mengenai ular dalam kehidupan masyarakat berpengaruh kuat terhadap kelangsungan hidup mereka. Stigma positif dan negatif mengenai jenis ular di Indonesia menjadi hal yang sangat penting sebagai respon social manusia terhadap ular. Masyarakat yang masih menganggap ular sebagai hewan yang mengganggu dan membahayakan sebenarnya memiliki dampak negetif dan positif secara tersendiri. Jenis-jenis ular menjadi terancam lantaran dianggap perlu untuk dibunuh. Namun stigma ular sebagai hewan yang membahayakan sekaligus menjadi perisai agar manusia tidak mengganggu ular. Jika manusia bertemu ular mereka hanya perlu menghindar.
Kelangsungan hidup jenis-jenis ular di Indonesia tidak begitu terancam bila dibandingkan dengan jenis-jenis hewan lainnya seperti jenis-jenis mamalia: Gajah, Harimau, Badak, Rusa, dll. jenis-jenis burung: burung Rangkong, burung Maleo, burung Nuri, Bangau Tongtong dll. Hanya beberapa jenis ular Indonesia yang dilindungi oleh undang-undang karena keberadaanya perlu untuk dilindungi. Jenis-jenis ular yang terancam tersebut sebagian besar mengalami tekanan lingkungan akibat kerusakan hutan dan tidakan-tindakan over  eksploitatif.
Beberapa jenis ular memerlukan kondisi lingkungan spesifik yang masih alami untuk hidup. Kerusakan hutan merusak tempat hidup ular-ular eksotik Indonesia. Kerusakan hutan menyederhanakan naungan dan memperkecil ketersediaan pakan bagi ular. Pada saat ini jenis-jenis ular banyak dimanfaatkan untuk tujuan tertentu seperti untuk obat, fashion, makanan dan hewan peliharaan. Pemanfaatan tanpa memperhatikan kelangsungan hidup menjadi ancaman secara langsung bagi jenis-jenis ular di Indonesia.
Ø Jenis-jenis Ular di Indonesia
Lebih dari 240 jenis ular yang ada di Indonesia hanya sedikit sekali yang dilindungi. Jenis-jenis ular Indonesia sangat beragam, mulai dari ular yang tidak berbisa, berbisa rendah, hingga berbisa tinggi. Jenis-jenis ular Indonesia menempati habitat yang cukup bervariasi mulai dari habitat teresterial (tanah), air tawar dan payau seperti ular rawa/kadut (Cereberus sp.), air laut, hingga daerah pegunungan dan pohon-pohon yang tinggi (Setyaningrum dkk,  2003).
2.3.1.      Ular Sanca Hijau
Ular sanca hijau (Python viridis) hanya dapat ditemukan di Pulau Papua, Aru,  dan Australia. Ular sanca hijau memiliki penampakan eksotik dengan warna utama hijau dengan bercak putih. Karena itulah jenis ular ini banyak diburu untuk diperdagangkan. Ular sanca hijau merupakan ular sanca pohon yang saat ini terancam kepunahan. Oleh CITES ular sanca ini dimasukkan dalam kategori Apendix II.
2.3.2.      Ular Sanca Bodo
Meskipun termasuk jenis ular yang dilindungi, ular sanja bodo (python molurus) merupakan jenis ular indonesia yang banyak dipelihara dan dijadikan hewan kesayangan oleh penghobi reptil. Ular yang familiar dimasyarakat karena sangat banyak sekali dimanfaatkan ini memiliki warna coklat dengan belang sepeerti jaring. Di Indonesia ular sanca bodo (Python molurus) dilindungi oleh Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 1999. Sedangkan oleh IUCN ular sanca bodo dimasukkan dalam kategori “Near Threatened” (Hampir Terancam).
2.3.3.      Ular Sanca Timor
Ular sanca timor (Phyton timorensis) di lindungi oleh Undang-Undang No. 5 Tahun 1990 dan Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 1999. Ular yang ditemukan di Pulau Pulau Timor, Lombien, dan Flores ini saat ini sangat terancam karena aktivitas perburuan dan perdagangan. IUCN mengkategorikan jenis ular ini kedalam status terancam (endangered).
2.4. Penangkaran Ular
2.3.1. Karakter Ular
Penangkaran Ular sangat tidak dianjurkan untuk masyarakat yang baru memulai memelihara reptil dikarenakan ukuran yang besar dan panjang sehingga tidak dianjurkan untuk pemelihara pemula melainkan harus didampingi atau memiliki tenaga teknis yang telah berpengalaman karena tingkat agresifitas dan nafsu makannya cukup tinggi. Jika terdapat Ular Sanca Batik (Python reticulatus) yang jinak tentunya karena sudah melalui proses penjinakan dan interaksi yang intens dengan manusia.

2.3.2. Kandang
Kandang seekor Ular Sanca Batik (Python reticulatus) ukuran kecil membutuhkan tempat paling minim seukuran aquarium (40-80x30-60x20-40) centi meter atau lebih, sampai Ular Sanca Batik (Python reticulatus) mendapat tempat yang lebih besar. Dikarenakan ukuran yang besar, kandang harus dibuat dengan ukuran minimal PxLxT (90-160x80-100x60-80) centi meter, dan tidak disarankan untuk menggunakan kayu yang belum finishing dikarenakan lebih mudah cepat rusak yang berakibat fatal bagi pengelolaan penangkaran.
Temperatur yang cocok pada siang hari 85°-90° F, dengan tempat berjemur antara 90°-93° F, sedangkan temperature pada malam hari berkisar 75°-80° F. Pemanas dan penerangan lampu ultra violet (UV) tidak diperlukan untuk Ular Sanca Batik (Python reticulatus) karena pencahayaan sekitar 10 sampai dengan 12 jam bisa menggunakan lampu pijar biasa. Menggunakan lampu pijar sebagai pemanas atau keramik penghantar panas dapat juga di pakai sebagai penghangat, sedangkan pemanas dari batu santa tidak di anjurkan karena bisa overheat dan membuat ular terluka.
Ular yang habitat aslinya adalah di hutan hujan tropis, sehingga memerlukan kelembaban yang sesuai. Jika terlalu lembab dapat menimbulkan tumbuhnya bakteri maupun jamur demikian halnya apabila terlalu rendah kelembabannya menyebabkan terjadinya masalah dalam pergantian kulit. Di dalam kandang juga bisa disediakan air untuk menjaga kelembaban, tetapi harus diperhatikan bila pada malam hari harus di keluarkan dari kandang karena akan meningkatkan kelembaban.
Kebersihan kandang harus menjadi perhatian khusus, karena kebersihan kandang akan mendukung keberhasilan penangkaran itu sendiri maupun kesehatan lingkungan sekitar dan menghindari protes (claim) masyarakat setempat. Kandang harus dibersihkan setiap hari, apa bila menggunakan indoor/outdoor carpet sangat disarankan mempunyai dua untuk dipakai bergantian, pastikan telah mencuci dan mengeringkan carpet sebelum di pakai lagi. Air yang di dalam kandang harus diganti setip hari guna menghindari bakteri yang mungkin masuk bersama kotoran ular, serta selalu mencuci tangan sebelum dan sesudah memegang ular.



















BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Adapun kesimpulan yang dapat diambil dari makalah ini adalah sebagai berikut:
1.      Dalam penangkaran satwa harapan ada dua pola yang dikembangkan untuk penangkarannya yaitu game ranching dan game farming.
2.    Ular adalah reptilia tak berkaki dan bertubuh panjang. Ular memiliki sisik seperti kadal dan sama-sama digolongkan ke dalam reptil bersisik (Squamata).
3.    Jenis-jenis ular yang di lindungi yaitu ular sanca hijau, ular sanca bodo, dan ular sanca timor.















DAFTAR PUSTAKA
Arifin. 2014. Hewan Satwa Harapan. Makalah. Fakultas Peternakan. Universitas Wijayakusuma Purwokerto.
Muhibbah,V. 2007. Satwa Harapan. Fakultas Peternakan. Institut Pertanian Bogor.
Purnomoadi,A. 2003. Ular. Fakultas peternakan. Universitas Diponegoro.
Setyaningrum, A, dkk. 2003. Jenis-jenis Ular yang Dilindungi. Unsoed : Purwokerto
Subronto. 2002. Penangkaran Satwa Harapan. Gadjah Mada University Press : Yogyakarta
Sudarmono, A. S. dan Y. Bambang Sugeng. 2008.  Satwa-Satwa yang Dilindungi. Penebar Suadaya  Jakarta